Ada
orang bilang pendidikan pesantren adalah pendidikan primitive dan ada juga mengatakan
pendidikan yang ketinggalan jaman. Ya
begitulah orang di luar pesantren menilai demikian, tapi yang jelas
pendidikan pesantren adalah lambang peradaban pendidikan yang pas, khususnya di
Indonesia.
Setiap
sesuatu yang bagus, murni atau yang
asli, maka banyak sesuatu di sekitarnya ada yang tidak murni atau asli, artinya
banyak tiruan atau jiplakannya, dan ini sudah menjadi hal yang lumrah dan wajar
bagi orang yang mencari keuntungan bisnis semata.
Contoh;
Ketika ada emas yang murni yang harganya mahal, di situlah banyak emas palsu atau
campuran, ketika orang meneliti emas yang kebetulan yang di teliti itu bukan
asli, maka orang berpendapat emas itu palsu dan macem-macem pendapatnya.
Ketika
ada orang meneliti tentang pendidikan pesantren, kebetulan yang di teliti itu
bukan bukan pesantren yang salaf (tidak mengajarkan Kitab kuning) atau yang
asli, artinya yang di teliti ini pesantren pesantren modern yang baerbasis
asrama, maka orang akan memandang, menilai, menyimpulkan, terus berpendapat
demikian, berarti pesantren itu identik ajaran modern barat, karena yang di
teliti itu bukan pesantren yang asli.
jawab dewe.
Begitu
juga dengan lembaga pendidikan pesantren, di mana pendidikan pesantren suatu
pendidikan yang bagus dan murni, bahkan seluruh dunia mengakui keberadaan
pesantrenlah yang menjaga persatuan ummat seluruh dunia. Mungkin saat ini tidak
ada suatu Negara di dunia ini yang menyamai model peradaban pesantren sekarang
ini, atau lebih gamblangnya dengan bahasa tidak ada sebanyak pendidikan
pesantren di Negara lain kecuali Indonesia tercinta ini. Pada tahun 1990an
jumlah pesantren di perkirakan mencapai 30ribu di seluruh pelosok Indonesia
baik pesantren yang berdiri bertahun-tahun maupun pesantren yang baru berdiri.
Munculnya
suatu pesantren di awali keprihatinan masyarakat setempat betapa pentingnya
pendidikan akhlaq, sehingga banyak pesantren juga mendirikan madrasah-madrasah
dari mulai madrasah diniyah ibtidaiyah, Tsanawiyah, aliyah dan madrasah ma’had
Aly, semua itu di bawah naungan pondok pesantren dan pimpin oleh seorang tokoh
kyai, karena pandangan masyarakat terhadap pesantren sangat kuat sekali dan
banyak orang tua yang minat di pesantren, dari pada sekolah umum di luar
pesantren.
Saat
itulah pemerintah atau para pembisnis mulai cemburu dengan adanya pendidikan
pesantren, maka mereka berusaha menglabuhi dan membuat rekayasa meskipun tidak
kelihatan. Pertama kali pemerintah datang ke pesantren adalah berlagak seperti
bapak, yang sok “Superhero” menjadi dewa penolong, seperti membantu keuangan
dana atas bangunan madrasah, dengan hasil menggelontorkan uang guna pembuatan
bangunan baru, pelan-pelan mereka merayu dengan bahasa manis, tapi di balik itu
ingin merampas madrasah itu, sehingga MI, MTs dan MA menjadi Negri, yang pada
awalnya di bawah kebijakan pesantren di alihkan, kini madrasah tersebut
sekarang sudah menjadi milik Depag atau pemerintah. Sehingga banyak
madrasah-madrasah sekarang di setir oleh pemerintah, dengan menyusupkan
kurikulum baru di Madrasah tersebut, dan kebijakan pesantren sudah tak berlaku
kembali.
Begitu
juga dengan perguruan tinggi seperti Institut islam yang dulu di dirikan oleh
seorang tokoh Ulama’ juga di rembut oleh pemerintah juga, seperti IAIN sekarang
ini sudah beda dengan pendidikan pesantren. Malah di kampus islam banyak
mengajarkan study yang tidak mengajarkan study pesantren, sehingga adab dan ma'dubnya sudah luntur. Karena kampus sekarang
hanya sekedar mengajarkan teory-teori semata, dan bahkan sebagai ladang mencari
title, gelar dan ladang untuk mendapatkan SK ijazah mencari uang. itupun agar mendapatkan ganti si suatu pekerjaan.
Maka
jangan heran bila pesantren atau madrasah islam sekarang harus ada izin dari
pemerintah depag, dan di tuntut akreditasi. Padahal pendidikan pesantren ada
sebelum ada depag. Ada lagi yang mengatakan kalau tidak izin tidak dapat SK
dari depag, ini kan lucu banget.
--------------------------------------------------------------------
Jogjakarta
/ Ahad / 03 / April / 2016.
Lek
son wong ndeso
No comments:
Post a Comment